Artikel ini telah menyelidiki persistensi praktik korupsi di Nigeria. Sebagian besar penelitian sebelumnya cenderung berfokus pada aktor sosial individu, dan memiliki sedikit perhatian terhadap struktur sosial dan lembaga yang membentuk tindakan mereka. Struktur dan institusi sosial secara bersamaan memungkinkan dan membatasi praktek predatori. Para aktor sosial dibentuk oleh struktur dan institusi masyarakat yang memungkinkan mereka untuk memahami peristiwa dan nilai-nilai sehari-hari dan tindakan mereka dibentuk oleh struktur kelembagaan. Dengan demikian, praktik kriminal keuangan di Nigeria tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa mempertimbangkan pengaruh struktur dan sejarah institusional. Artikel ini m empertimbangkan struktur kelembagaan dalam negara Nigeria, ekonomi global dan konteks historis untuk menjelaskan persistensi praktik kriminal keuangan di Nigeria. Bukti yang diberikan dalam artikel ini telah menunjukkan bahwa sejumlah besar pendapatan pemerintah telah dialirkan...
1. The Fraud Hexagon
(S.C.C.O.R.E)
Teori yang dikembangkan oleh Georgius Vousinas dari National Technical
University of Athens ini berasal dari pengembangan teori pentagon (S.C.O.R.E),
yang terdiri dari Stimulus, Capability,
Opportunity, Rationalization, dan Ego. Kemudian, S.C.C.O.R.E model
memperbarui dan mengadaptasi teori tersebut dari kasus fraud yang ada dengan menambahkan Collusion. Teori ini berpendapat bahwa kolusi secara tidak sengaja dapat
pula menjadi pengembang fraud yang ada
di dalam organisasi. Fraudster
menggunakan kemampuan mereka untuk mengambil keuntungan dari posisi orang lain
dan memanfaatkan orang korban.
Signifikansi kolusi sebagai faktor utama penyebab fraud juga terdapat dalam
laporan ACFE pada Nations on Occupational Fraud and Abuse (2016). Laporan tersebut
menunjukkan bahwa hampir dari setengah kasus yang diperiksa adalah pelaku yang
melakukan kolusi dengan orang lain dalam tindakan fraud. Semakin besar angka
fraudster yang terlibat, maka kerugian akan cenderung lebih tinggi. Model S.C.C.O.R.E merupakan perluasan dari
model S.C.O.R.E pada penerapan white-collar
crime, dimana kolusi memainkan peran yang krusial dalam menentukan faktor
mana yang mengarah pada fraud
keuangan.
2.
Fraud Scale
Theory
Teori fraud scale merupakan teori
lanjutan dari teori fraud triangle.
Teori ini mengukur kemungkinan tindakan penipuan dengan cara mengevaluasi
kekuatan tekanan, kesempatan dan integritas pribadi. Ketika tekanan situasional
dan kesempatan untuk melakukan fraud tinggi namun integritas personal rendah
maka kemungkinan terjadinya fraud akan sangat tinggi. Kesempatan yang dimaksud
disini adalah adanya asimetri informasi dan kondisi pengendalian internal dalam
sebuah orgnaisasi. Motivasi seseorang melakukan fraud adalah untuk keuntungan
pribadi. Dalam kondisi adanya asimetri informasi dan tidak terdapat
elemen pengendalian internal dalam organisasi, individu dengan level penalaran
moral rendah cenderung akan memanfaatkan situasi tersebut untuk keuntungan
pribadinya, misalnya tindakan yang berhubungan dengan kecurangan akuntansi.
Kondisi tersebut sesuai dengan yang ada dalam tingkatan level preconventional
Kohlberg yaitu individu yang memiliki level penalaran moral rendah memiliki
motivasi utama untuk kepentingan pribadinya. Sementara itu, individu dengan
level penalaran tinggi dalam kondisi tidak terdapat elemen pengendalian
internal di organisasi tetap tidak akan melakukan kecurangan akuntansi yang
tidak etis dan akan merugikan banyak pihak.
3.
Agency Theory
Teori keagenan menjelaskan adanya
hubungan kerjasama antara pihak pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen
sebagai agen. Hubungan agensi ada ketika salah satu pihak (prinsipal) yang
dalam hal ini adalah pemilik perusahaan atau pemegang saham menyewa orang lain
(agen) yaitu manajemen perusahaan untuk melaksanakan suatu jasa dan para
prinsipal mendelegasikan wewenang pada agennya untuk membuat keputusan (dalam
Anthony dan Govindarajan, 2005).
Prinsipal selalu menginginkan return
tinggi atas investasi yang telah dikeluarkan untuk perusahaan, sedangkan agen
memiliki kepentingan sendiri yaitu untuk mendapatkan kompensasi yang lebih
besar atas hasil kinerjanya. Hal ini menunjukkan adanya benturan kepentingan
antara prinsipal dan agen yaitu pemilik modal dan para pengelola modal atau
manajemen perusahaan. Adanya benturan kepentingan antar agen dan prinsipal ini
sering disebut pula dengan conflict of interest. Benturan kepentingan tersebut dapat menjadi
pemicu adanya kecurangan.
4. Fraud White Collar
Crime
White-collar
crime adalah suatu kejahatan yang nyata. Hal ini diungkapkan
oleh Sutherland (1940) yang menyatakan bahwa :
“White-collar
crime is real crime. It is not ordinary called crime, and calling it by this
name does not make it worse, just as refraining from calling it crime does not
make it better than it otherwise would be.”
Kejahatan ini biasa dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki jabatan yang tinggi atau orang-orang terhormat,
biasanya dilakukan tanpa adanya kekerasan tetapi disertai dengan manipulasi,
kecurangan dan pengelakan.
Ada beberapa dampak dari kejahatan ini
seperti kerugian material dan rusaknya tatanan masyarakat.
Faktor-faktor yang menyebabkan white collar crime yaitu :
· Kerawanan kondisi
sosial ekonomi
· Penyelenggaraan
pemerintahan dan manajemen yang kurang baik
· Kontrol yang
kurang efektif dan efisien
· Pembangunan yang
serba tertutup
· Lemahnya
peraturan perundang-undangan yang ada
· Tindakan hukum
yang belum tegas
5. MICE theory
Diskusi terbaru menunjukkan bahwa motivasi dari pelaku fraud dapat lebih
tepat diperluas dan diidentifikasi dengan singkatan M.I.C.E. (Kranacher et. Al.
2011): M: money, I: ideology, C: coercion, dan E: ego (entitlement).
M-I-C-E memodifikasi sisi tekanan dari Segitiga Fraud, karena menyediakan
kumpulan perkembangan motivasi dari tekanan keuangan non-shareable. Uang dan
ego tampaknya merupakan motivasi umum untuk fraud. Sejarah kasus Madoff,
Stanford, Enron, WorldCom, Adelphia, Phar-Mor, dan ZZZZ memberikan contoh
terbaik di mana pelaku yang dihukum tampaknya dimotivasi oleh ego atau hak,
serta uang.
Ideologi mungkin motivasi yang kurang sering menjadi dasar kejahatan kerah
putih. Dari perspektif etika, dengan ideologi, tujuan membenarkan maksud.
Pelaku mencuri uang atau berpartisipasi dalam tindakan fraud atau kejahatan
keuangan menggunakan argumen bahwa mereka mencapai beberapa dirasakan baik
lebih besar.
Pemaksaan menggambarkan kondisi di mana seorang individu tidak bersedia,
tapi tetap dipaksa berpartisipasi dalam skema penipuan. Sebagai contoh, mengacu
lagi untuk kasus Walmart-Coughlin, Patsy Stephens menggugat Thomas Coughlin
mengklaim bahwa ia dipaksa mengirimkan voucher dan pencucian uang melalui
rekening bank sendiri (Putih 2008). Demikian pula, Betty Vinson, seorang
terpidana WorldCom tingkat menengah akuntan, melaporkan bahwa ia diperintahkan
untuk membuat entri akuntansi palsu (Pulliam 2003).
Sebagai perangkat pengajaran dan alat penelitian untuk mengidentifikasi
motivator, modifikasi kebutuhan keuangan non-sharable
yang dijelaskan oleh Cressey (1950), M.I.C.E. mudah diingat dan menyediakan
kerangka kerja yang diperluas untuk memeriksa tekanan. Konsisten dengan
Ramamoorthy et al. (2009), konstruk teori ini mengingatkan instruktur dan siswa
bahwa motivasi merupaka seusatu yang kompleks. M.I.C.E. juga menunjukkan untuk
kemungkinan kolusi yang secara teknis dalam komponen kebutuhan keuangan non-sharable Cressey ini tidak.
Sumber
Komentar
Posting Komentar